Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah dan Hikmah Tentang Pembuktian Cinta dan Ketakwaan


dok. pribadi/2020

“Cinta adalah Kejujuran, ketulusan dan kesetiaan. Cinta sejati adalah kesucian yang harus dijaga. Cinta semestinya berhulu iman, bermuara takwa dan kebersihan jiwa.”  
-Ibnu Hazm El Andalusy-  

Sebuah Kisah Tentang Berkurban

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Qs. Al-Kautsar 1 sampai 3,

إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ  (١)  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ  (٢)  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ  (٣)

"(1.) Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. (2.) Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). (3.) Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)." (Qs Al-Kautsar 1-3)

Limpahan syukur semoga tersampaikan kepada Allah Ta’ala, atas berkah dan rahmat-Nya pada kesempatan ini kami dapat berbagi. Alhamdulillah ‘ala kulli nikmah Wa syukrulillah ‘ala kulli magfirah

Salam serta shalawat kami sampaikan pula kepada sosok yang mulia akhlaknya, indah tutur katanya, dan lembut hatinya. Beliau Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wa Sallam. Semoga terlimpah curah pula kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang senantiasa mencintai beliau.

Sampailah kita pada satu bulan yang dirahmati Allah Subahanahuwata’ala, yaitu bulan Zulhijjah, yang merupakan salah satu dari empat bulan yang dihormati. 

Setiap syariat yang dituntunkan Allah Subahanahuwata’ala tentu memiliki hikmah yang besar dalam penerapannya. Begitu pula dengan ibadah-ibadah khusus pada Bulan Zulhijjah. 

Di antara beberapa ibadah khusus pada bulan ini adalah berkurban. Dalam literatur-literatur sejarah, kurban tidak hanya dilakukan pada masa kenabian Rasulullah, Muhammad Salallahu’alaihi wa Sallam. Namun jauh sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, syariat ini telah dahulu diberikan kepada Nabi Ibrahim Khalilurrahman

Seperti yang sudah umum diketahui, bahwa Nabi Ibrahim diminta untuk menyembelih anak yang dicintainya, sebagai wujud pembuktian cintanya kepada Allah Subahanahuwata’ala.

Kurban bukan hanya sekadar ibadah yang mempersiapkan hewan yang terbaik, kemudian menyembelihnya dan membagikan hasilnya kepada umat muslim khususnya yang tidak berkemampuan. Tentu hal tersebut utama, namun dibalik itu ada yang paling utama lagi, yaitu niat dari pemberi kurban itu sendiri. 

Dalam Al-Quran diabadikan pada surah Al-Hajj ayat  37, Allah Ta'ala berfirman sebagai berikut.

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  (٣٧)

"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (Qs. Al-Hajj ayat  37)

Sungguh, bukan merupakan tujuan bagi seorang yang berkurban berbangga-bangga dengan hewan kurbanya. Pada dasarnya, yang menjadi nilai utama adalah tingkat ketakwaannya. Itulah merupakan nilai kurban yang terbaik di sisi-Nya.

Kisah Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Keluarganya

Dibalik pensyariatan ibadah kurban, ada sebuah kisah yang sangat menarik dan tentunya banyak hikmah yang dapat dipetik. Yaitu kisah dari seorang Nabi Allah, Khalilurrahman, Ibrahim alaihisalam, dan juga kerluarganya. 

Kisah ini berawal dari doa Nabi Ibrahim yang sangat merindukan seorang keturunan. Dalam Al-Quran surah As-Saffat ayat 99-101 diabadikan sebagai berikut.

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهۡدِينِ  (٩٩)  رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ  (١٠٠)  فَبَشَّرۡنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٖ  (١٠١)

"(99.Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (100.) Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (101.) Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar." (Qs. As-Saffat ayat 99-101)

Doa beliau Allah jawab dengan mengahdirkan baginya seorang anak yang saleh dan penuh rasa sabar dalam dirinya. Maka bergembiralah hati Nabi Ibrahim saat dikaruniai Allah seorang buah hati yang telah lama ia tunggu. 

Singkat cerita, setelah Sayyida Hajar, istri Nabi Ibrahim, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, Allah menurunkan suatu pernintah kepada Nabi Ibrahim untuk membawa istri dan anaknya pergi ke suatu lembah yang kering, yang tiada kehidupan di tempat tersebut. 

Seorang wanita dengan anak kecil dan perbekalan yang seadanya ditinggal di lembah yang terik dan kering, tentu gelisahlah hatinya ketika sang suami hendak berpaling pergi meninggalkanya.

Namun sebelum mereka berpisah terucap dari lisan Sayyidah Hajar kepda Nabi Ibrahim, “Apakah ini perintah Allah?”tanya Sayyidah Hajar. “Benar ini perintah dari Allah,” jawab Nabi Ibrahim.

Saat itulah muncul ketegaran dalam diri seorang wanita, yang akan ditinggal oleh suaminya untuk pergi berdakwah dijalan Allah. Bahwa Allah Subahanahuwata’ala tidak akan menelantarkannya. 

Hikmah Dari Sebuah Keyakinan

Keyakian itu datang tentunya bukti dari pengajaran Nabi Ibrahim kepada istrinya, bahwa tempat bergantung hanya kepada Allah. Sungguh tampaklah ketegaran dalam jiwa ibunda Nabi Ismail yang  percaya bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. 

Figur ini dapat menjadi contoh dalam diri seorang muslimah, keyakianan akan kekuasaan Allah dalam jiwa harus kokoh, bagaimana pun sulitnya keadaan yang sedang dihadapi. 

Dengan begitu maka akan membentuk karakter muslimah yang kuat dan teguh dalam setiap keadaan, karena yakin bahwa Allah tidak akan meninggalkan hambanya. 

Lantas sebelum meninggalkan istri dan anaknya Nabi Ibrahim sempat berdoa, yang doanya pun diabadikan dalam Al-Quran pada surah Ibrahim ayat 37.

رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفِۡٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ  (٣٧)

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (Qs. Ibrahim ayat 37)

Dalam ayat ini banyak mengajarkan pelajaran penting. Dimana Nabi Ibrahim sangat percaya kepada Allah sebagai penjaga anak dan istrinya. 

Ini memberikan pelajaran kepadan kita, untuk menitipkan orang-orang yang disayangi kepada Zat yang Maha Penjaga, sehingga sepenuhnya kita akan tenang, dan rasa gelisah akan hilang.

Namun tidak hanya sampai tahap itu, langkah selanjutnya adalah dekatkanlah diri mereka kepada Allah. Misalnya, dengan cara mencarikan lingkungan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah, dan dilanjutkan dengan ikhtiar dengan mengajarkan mereka untuk mendirikan sholat. 

Sehingga Allah Subahanahuwata’ala akan membukakan pintu-pintu rezeki bagi mereka.

Kisah Perjuangan Nabi Ibrahim dan Ismail

Datanglah dimana waktu Ismail kecil yang telah mampu diajak bermain, dan sudah mampu membantu Nabi Ibrahim. Tentu hal tersebut membuat hati Nabi Ibrahim sangat senang, Ismail telah menjadi penyejuk hati bagi orang tuanya, Nabi Ibrahim. 

Hingga pada saatnya Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya yang sangat ia cintai. 

Melalui mimpi Allah Subahanahuwata’ala memberikan perintah tersebut. Sebagaimana yang telah diabadikan dalam surah Ash-Shaffat ayat 102.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ  (١٠٢)

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab, 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar'." (Qs. Ash-Shaffat: 102)

Dari ayat ini pula dapat diambil pelajaran bagi orang tua khususnya sang ayah, ketika anak sudah dirasa mampu memberikan pendapat, jadilah orang tua yang selalu dapat mendengar pendapat dari anak. 

Biarkan mereka memberi pandangan, ajarilah ketika pandangannya terdapat kekeliruan, terimalah apabila pendapatnya dirasa baik. Nabi Ibrahim juga mengajarkan tentang cara berkomunikasi yang baik kepada sang anak, sehingga mudah dimengerti oleh anak. 

Yaitu dengan cara-cara yang baik dan lembut dan melalui pengajaran yang terbaik dari sejak lahirnya. Maka Ismail kecil memberikan contoh pribadi yang saleh, patutlah hal ini menjadi pelajaran khususnya bagi seorang anak. 

Tanpa ada rasa kecewa, protes apalagi menolak, dan dengan kerendahan hatinya, ia meminta sang ayah untuk menyegerakan perintah Allah yang diberikan kepadanya. Sambil berkata kepada ayahnya, “Semoga engkau mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,”

Tentunya ayat ini memberi indikasi keberhasilan pendidikan Nabi Ibrahim yang diberikan kepada anaknya, Nabi Ismail. Bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik. Sehingga membentuk pribadi yang sangat taat dan saleh dalam kehidupan sehari-hari.

Pola pengajaran ini sudah seharusnya diterapkan bagi keluarga-keluarga muslim, yang dimana peletakan pondasi pertama adalah pengajaran Allah, sebagai Tuhan yang wajib disembah dan dibadahi serta wajib menjalankan apa yang diperintahkan. 

Dalam gambaran dari kisah di atas, ketika Ismail dan Ibundanya ditinggal di lembah yang gersang, terdapat pengajaran yang dapat membentuk pribadi anak yang soleh taat pada perintah Allah dan berbakti kepada kedua orangtua.

Kisah Wujud Ketakwaan Nabi Ibrahim dan Ismail Kepada Allah

Ketika waktu penyembelihan tiba, maka Ismail pun diajak untuk pergi ke suatu tempat untuk dilakukan penyembelihan. 

Sesampainya di tempat maka dipersiapkan segala apa-apa yang dibutuhkan. Tatkala semua telah siap, penyembelihan pun dilaksanakan. Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika hendak melakukan penyembelihan, terjadi dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail. 

Ismail berkata kepada Ayahnya, “Wahai ayahku, ikatkan tali kuat-kuat ke tubuhku, kencangkan kaitannya hingga aku tidak meronta-ronta, singkapkan pakaian dari diriku supaya darahku tidak mengenai dan membasahi pakaianku. 

Sebab, jika darah itu membasahi pakaianku, maka itu akan menurangi pahalaku dan ketika Engkau memperlihatkan pakaian itu kepada ibunda, maka dia akan sangat merasa sedih dan air matanya pasti akan bercucuran. 

Asalah pisaumu, cepatkanlah lintas pisau itu ke leherku supaya hal itu lebih mudah bagiku; karena kematian itu sangat keras dan menyakitkan. Lalu sampaikanlah salamku kepada ibunda. Jika Engkau ingin mengembalikan pakaianku kepadannya, maka lakukanlah. 

Sebab, hal itu akan menjadi hiburan yang dapat mengobati kesedihannya dan dapat menjadi pelipurlara baginya dalam kondisi yang sedang tertimpa musibah. Dia dapat mencium bau semerbak dan menghirup bau harum dari pakaian itu. 

Dia akan kembali kepadannya (pakaianku) ketika dia mencari-cari disekitarnya dan tidak menemukanku dan memeriksa (semua tempat) untuk mencariku dan tidak melihatku. Ini adalah pesanku buat Ibdunda.” Tuntas Nabi Ismail.

Nabi Ibrahim pun berkata, “Sebaik-baik pertolongan adalah engkau yang menyerahkan segalanya kepada Allah, wahai anakku!” Kemudian Nabi Ibrahim merangkul Ismail ke dalam dadanya. Dia menciuminya dan keduanya menangis haru sebelum maut meisahkan mereka.

Sungguh indah dialog antara ayah dan anak yang hatinya sudah tertaut mencintai Allah. Pada saat keduanya telah berserah diri kepada Allah dan membenarkan atas perintah Allah, maka Allah meminta Nabi Ibrahim mengganti anaknya yang menjadi kurban dengan seekor sesembelihan yang terbaik. 

Allah berfirman dalam Quran surat Ash-Shaffat [37] ayat 105 sampai 107 sebagai berikut.


قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ  ١٠٥ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ  ١٠٦ وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ  ١٠٧

"(105.) Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (106.) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (107.) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." 

Hikmah Berkurban

Pada akhir tulisan ini, terdapat hikmah dalam kisah singkat pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, tentang keterkaitanya dengan ibadah kurban yang akan kita jalani. Diantaranya sebagai berikut.

1. Figur Ayah Tentang Tanggung Jawab 

Figur seorang ayah yang sangat memiliki tanggung jawab kepada keluarga, terdapat dalam diri Nabi Ibrahim. Sesungguhnya kita tahu bahwa Ibrahim adalah seorang nabi, tugas utamanya adalah berdakwah, menyebarkan agama Allah. 

Nabi Ibrahim tidak melupakan kewajibanya sebagai seorang suami, yang tugas utamanya memberi nafkah  dan seorang ayah yang bertanggung jawab mendidik keluarganya. 

Jarak bukan menjadi halangan, antara Nabi Ibrahim berdakwah di daerah Palestina dan istri dan anaknya yang ia tinggalkan berada di Makkah, tentu jarak sudah jauh memisahkan. Namun apakah Nabi Ibrahim berhenti memperhatikan perkembangan Anaknya? 

Tentu tidak. Ada saat dimana diluangkan waktu untuk menjenguk anaknya yang berada di Makkah untuk mengetahui pergaulan dan memberikan tarbiyah kepada keluarganya. 

Hal ini merupakan pengajaran bagi seorang ayah atau seorang calon ayah, yang tentunya akan menjadi tauladan. 

Seberapa sibuknya pekerjaan yang dikerjakan tentu pengajaran dan perhatian kepada keluarga juga tetap menjadi prioritas utama.

2. Peran Wanita Salihah Dalam Keluarga 

Peran seorang wanita yang salihah di dalam keluarga juga sangat diperlukan. Andaikan Sayyidah Hajar tidak melapangkan hatinya ketika hendak ditinggal suaminya saat berada di tengah lembah yang gersang tanpa penghidupan, mungkin kisahnya akan berbeda.

Namun Allah maha mengetahui, karena keteguhan hati dan keikhlasan jiwa, dan disandingkan dengan ikhtiar yang kuat, maka Allah abadikan perjuanganya menjadi sebuah syariat dalam Ibadah haji yaitu Sa’i (Berlarian kecil dari Bukit Saffa menuju Bukit Marwah). 

Tentu pribadi seperti Sayyidah Hajar sangat dibutuhkan dalam keluarga seorang muslim. Ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Anak yang hebat tentu lahir dari didikan wanita yang hebat pula. 

Lihatlah kisahnya Imam As-Syafi’i, siapa yang memberi semangatnya dalam belajar, dan lihatlah Imam Al-Bukhori siapa pula yanng memotivasinya dalam belajar.

3. Peran Anak Saleh dan Salihah

Figur anak yang saleh dan salihah, ialah mereka yang tidak menuntut banyak dari orangtuanya. Selalu berbakti kepada orangtua dan membantu dikala sedang dilanda kesulitan. 

Nabi Ismail merupakan cerminan kesabaran yang abadi. Rela berkorban demi ketaatan kepada Allah Subahanahuwata’ala. Sehingga Allah angkat derajatnya menjadi seorang nabi yang diabadikan dalam Al-Quran Surah Maryam ayat 54,

وَٱذۡكُرۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ إِسۡمَٰعِيلَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلۡوَعۡدِ وَكَانَ رَسُولٗا نَّبِيّٗا  (٥٤)

"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi."

Pembentukan karakter wanita yang salihah dan anak yang penyabar, tidak terlepas dari pengajaran seorang ayah. Nabi Ibrahim memberikan contoh yang kompleks, tentang cara mendekatkan keluarga kepada ajaran-ajaran Allah. 

Ketika keluarga sudah mengenal Allah jangankan air mata dan darah, nyawapun rela dikorbankan demi mencapai cintanya Allah Subahanahuwata’ala. Hal itu tercermin ketika Ismail rela mengorbankan jiwanya untuk disembelih demi ketaatan terhadap perintah Allah.

Kemudian disyariatkanya kurban adalah untuk mengajarkan kepada setiap umat muslim, agar selalu mendekatkan diri kepada Allah Subahanahuwata’ala. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim dan keluaranya. 

Capaiaan yang diharapkan dari kurban bukan daginya yang sampai kepada Allah, bukan pula darahnya, namun yang sampai kepada Allah adalah ketakwaannya.

Jadi inti dari hikmah disyariatkan kurban adalah proses pendekatan diri tidak hanya diri sendiri namun juga keluarga dan kerabat-kerabat untuk mecapai ketakwaan kepada Allah Subahanahuwata’ala

Maka kita kenal istilah kurban yang berasal dari bahasa arab yang memliki arti “Dekat”. Yaitu ibadah penyembelihan hewan kurban yang ditujukan sebagai pendekatan diri kepada Allah Subahanahuwata’ala

Lantas ketika kurban telah kita lakukan, namun belum ada kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah Subahanahuwata’ala, tanyaanlah pada diri pribadi apa yang telah terjadi.

Lantas sudah berapa kali kurban yang telah dilakukan? Sudah mengertikan esensi dari ibadah yang penuh makna ini? Apakah setiap tahun kurban hanya sebagai ritual tahunan yang hampa makna? 

Apakah hanya sekedar mencari sesembelihan untuk disembelih, selanjutnya untuk dibagikan? Hanya sampai situ kah pemahaman kita terhadap syariat ini?

Allah Ta'ala berfirman dalam Quran Surat Al-Asr, sebagai berikut.

وَٱلۡعَصۡرِ  ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ  ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ  ٣

"(1) Demi masa. (2) Sungguh manusia berada dalam kerugian. (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dam saling menasihati untuk kesabaran." (Qs. Al Asr)

Semoga ada manfatnya, Wallahu ta’ala A’lam.




Penulis: Muhammad Fiqri Nur Ilmi Syaifullah
Penyunting: Redaksi Asosiasi Remaja Istiqlal Jakarta

1 komentar untuk "Kisah dan Hikmah Tentang Pembuktian Cinta dan Ketakwaan "