Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertanian Dalam Kacamata Islam


Allah Subhanahu Wa Ta’ala Sang Maha Pengasih, Pemilik Seluruh Alam, yang menjadikan bumi ini sungguh indah dan nyaman untuk kita singgahi.

Begitu banyak kenikmatan yang ada di Bumi ini, begitu banyak manfaat dari hasil bumi ini bagi kita umat manusia. Dia Sang Pemberi Kenikmatan dan Rahmat.

Islam sebagai agama yang sempurna, memberi arahan hidup dari segala sisi. Menjadi penerang dan petunjuk dikala diri menemui gelap dan tersesat. 

Dialah Allah yang dengan kuasa-Nya, Ia hadirkan Rasul dan kitab-Nya yang mulia, membimbing kita untuk menjalani kebajikan yang benar, yang Ia ridai.

Kebajikan bisa kita dapatkan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan bertani, bercocok tanam, atau berkebun. Apalagi kita sebagai muslim yang telah Allah dan rasul-Nya perintahkan untuk bertani. Bahagia sekali ya.

Pertanian dalam Al-Qur’an

Didalam Alquran, Allah telah paparkan banyak pembahasan tentang pertanian dalam arti luas, termasuk didalamnya perkebunan, peternakan dan pengelolaan atau penggunaan hasilnya.

Hal-hal yang baik di Alquran juga diungkapkan dengan perumpamaan yang terkait dengan pertanian. Misalnya ketika Allah memuji umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kalimat yang digunakan adalah sebagai berikut.

“…yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)...” (QS 48:29)

Kemudian, jika kita perhatikan seruan azan yang kita dengar setiap hari, antara lain menyeru kita untuk meraih kemenangan atau kesuksesan, dan didalam bahasa Arab disebut falah, yang akar katanya sama dengan bertani ( فلاح).

Ini karena proses untuk mencapai kemenangan itu persis diibaratkan seperti bertani, yaitu mulai dari melakukan persiapan, menanam, merawatnya sebaik mungkin dan baru bisa memetik hasilnya.

Bahwasannya kemenangan atau kesuksesan tidak datang secara instan, ujug-ujug ada. Tapi, kesuksesan bisa kita peroleh dengan hanya saat kita telah melewati suatu proses, bangkit setelah jatuh, meminta segala hal kebaikan kepada Allah, dan berserah diri.

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 261 sampai 283 yang terkait dengan pengelolaan harta dan muamalah secara umum. Rangkaian ayat-ayat panjang ini dimulai oleh Allah dengan membuat perumpamaan, yang Allah kaitkan dengan ilmu pertanian. Perumpamaannya sebagai berikut.

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Baqarah: 261)

Selain memberi pelajaran untuk berinfaq, ayat ini juga memberi isyarat hasil pertanian, yaitu sebutir benih yang menghasilkan 700 butir biji-bijian.

Dengan (potensi) kelipatan hasil yang demikian besar, maka tidak heran bila akar kata bertani adalah sama dengan akar kata kemenangan atau kesuksesan ( فلاح).

Sejarah Pertanian Umat Islam

Setelah mengetahui uniknya pertanian dalam kacamata Islam, ternyata pada sejarahnya,  Islam juga menjunjung tinggi nilai-nilai pertanian. Rasulullah sebagai role modelnya karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga  banyak memotivasi sahabatnya untuk bercocok tanam.

Sebagaimana yang Anas bin Malik riwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Tidaklah seorang muslim meluku tanah, atau menanam tanaman, kemudian sebagiannya dimakan burung, atau manusia, atau hewan-hewan, kecuali baginya ada pahala sedekah."

Kemudian, Imam Asy Syinqithi mentadabburi hadits tersebut seraya berkata, "dalam hadits ini adalah motivasi bagi seorang muslim untuk memakmurkan bumi bagi dirinya dan bagi generasi yang akan datang setelahnya."

Di waktu lainnya, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia menanaminya dengan tanaman."

Kemudian, motivasi yang disabdakan Rasulullah itu menjadi inspirasi tersendiri bagi para sahabat. Sehingga kita ketahui, bahwa selain pandai berdagang, banyak juga sahabat Rasulullah yang pandai bertani. Terlebih Kaum Anshar, yang merupakan para ahli bercocok tanam.

Sebuah kisah atsar, suatu kali Utsman bin Affan ditanya, "Apakah engkau tetap bercocok tanam meskipun kau sudah tua?", Mendengar pertanyaan itu beliau menjawab, "Aku lebih suka kematian datang padaku dalam keadaan aku berbuat baik, daripada aku sedang berbuat kerusakan."

Senada dengan Abu Darda ketika beliau ditanya, "Engkau sudah tua, mengapa tetap menanam? Dan bahkan engkau tidak bisa menikmati panennya kecuali setelah 20 tahun?"

Maka Abu Darda menjawab bijak, "Aku menanam bukan untuk kupetik panen buahnya, melainkan untuk kupanen pahalanya." Diriwayatkan oleh Al Badri dalam Kitab Nuzhatul Anam fi Mahasin Asy Syam halaman 185.

Membahas tentang pertanian, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga aktif dalam sektor pertanian, mulai dari menentukan tanaman yang cocok untuk ditanami sesuai dengan kondisi topografi tanah sampai mengatur jalur irigasi.

Seperti yang kita ketahui bahwa Rasulullah adalah ahli tata ruang, ia menyusun tata kota Madinah dengan sedemikian rupa, sehingga tertata dengan baik.

Hikmah Bertani

Kemudian, pertanian bukan hanya soal bercocok tanam, namun sebuah rangkaian sinergi dari bidang-bidang lain dalam kegiatan bercocok tanam.

Rangkaian itu terdiri dari komponen etos kerja, kemampuan mengolah tanah, kemampuan melihat geografi, merawat tanaman dengan menyeimbangkan air dan penggunaan pupuk, memilih bibit yang baik, kesabaran dan keuletan, hingga spiritualitas atau keyakinan kita terhadap Sang Maha Hidup yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Sebuah falsafah benih yang salah satunya adalah benih itu adalah produk hari ini, janji esok hari. Seperti peribahasa yang kita ketahui yaitu apa yang ditanam itulah yang akan dituai. 

Peribahasa tersebut bisa kita artikan dengan makna sebagai berikut, "selama petani (kita) menanamkan dengan penuh cinta dan kerelaan, bekerja ulet dan penuh kesabaran merawat dan menjaga tumbuh kembang tanaman maka mereka yakin akan menuai hasil panen yang maksimal."

Bahwasannya kewajiban kita dalam bercocok tanam adalah menanam, sedangkan hasil panen adalah kehendak Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Betapa, bertani adalah suatu aktifitas yang mulia, yang jika kita pikirkan lagi, apa yang kita makan sehari-hari, yaitu sayur, buah, biji-bijian itu adalah hasil olahan dari pertanian. 

Apalagi Allah dan Rasul udah sering banget mentions kita dan kaitkan kehidupan kita tentang pertanian.

Jadi, gunakan waktu dengan sebaik-baiknya, arahkan diri untuk melakukan aktifitas yang bermanfaat, bekerjalah dengan dasar rela dan ikhlas agar tidak dibebankan dengan rasa kecewa.



Daftar Pustaka: Seminar Sejarah Islam Bicara Pertanian, Agriquran
Pemaparan Materi : Ruri Rusmaini
Penulis : Nurul Fajriyah
Penyunting : Redaksi Asosiasi Remaja Masjid Istiqlal Jakarta

Posting Komentar untuk "Pertanian Dalam Kacamata Islam"